BAB
I
PENDAHULUAN
Allah swt. telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu
sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala
urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli,
sewa-menyewa, bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan
kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian
kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang
lainnya pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada
manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai
tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan
dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu, agama memberi peraturan yang
sebaik-baiknya; karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia
jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan
dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya, "Wahai anakku! Berusahalah untuk
menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang
berusaha dengan jalan yang halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali
apabila ia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit; (1) tipis kepercayaan
agamanya, (2) lemah akalnya, (3) hilang kesopanannya.
Jadi, yang dimaksud dengan muamalat ialah tukar-menukar barang atau
sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual beli,
sewa-menyewa, upah mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat
dan usaha lainnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Hakikat Riba, Hukum, dan
Bahayanya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: (( لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ )) (رواه مسلم)
Dari Jabir ra
berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang
yangmemberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka
semua adalah sama. (HR. Muslim)
Sekilas
Tentang Hadits:
Hadits ini
merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits.
Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :
Ÿ Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab
La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits
no 2995.
Ÿ Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam
Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain itu,
hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui
jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud
dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :
Ÿ Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An
Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
Ÿ Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab
Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
Ÿ Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi
Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
Ÿ Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak
tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099,
4171 dsb.
Ÿ Imam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab
Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
Makna Hadits Secara Umum:
Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan
buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba,
sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba.
Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua
golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW;
“Mereka semua adalah sama.”
Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggambarkan betapa
munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat
suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar
biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala
mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.
Oleh karenanya, setiap muslim wajib
menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan
bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap
aktivis da’wah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit
yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.
Makna Riba
Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan.
Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.
Ÿ Definsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai
syariah).
Ÿ Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan
dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk
tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang
tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang,
tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya.
Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam
pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang,
yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam
meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumtif.
Pinjam meminjam uang terjadi untuk
produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam
tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya
pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada
waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan
terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba
jahiliyah.
Riba Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang
wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi
dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT
mengharamakaan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamakaan riba. Seorang muslim
yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih
rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena
begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba,
firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :
قال الله تعالى: {الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ
الرِّبَا
لاَ
يَقُومُونَ
إِلاَّ
كَمَا
يَقُومُ
الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ
مِنَ
الْمَسِّ
ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ
قَالُوا
إِنَّمَا
الْبَيْعُ
مِثْلُ
الرِّبَا
وَأَحَلَّ
اللَّهُ
الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ
الرِّبَا
فَمَنْ
جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ
مِنْ
رَبِّهِ
فَانْتَهَى
فَلَهُ
مَا
سَلَفَ
وَأَمْرُهُ
إِلَى
اللَّهِ
وَمَنْ
عَادَ
فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ
النَّارِ
هُمْ
فِيهَا
خَالِدُونَ} ( سورة البقرة: 275)
Orang-orang yang
memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena
mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah
menghalalkan jual beli serta mengharamakaan riba. Maka barangsiapa yang telah
datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan
riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah
keapda Allah.
Namun barang
siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :
عَنْ
أَبِي
هُرَيْرَةَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
عَنْ
النَّبِيِّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قَالَ: (( اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ
الْمُوبِقَاتِ
قَالُوا
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
وَمَا
هُنَّ
قَالَ
الشِّرْكُ
بِاللَّهِ
وَالسِّحْرُ
وَقَتْلُ
النَّفْسِ
الَّتِي
حَرَّمَ
اللَّهُ
إِلَّا
بِالْحَقِّ
وَأَكْلُ
الرِّبَا
وَأَكْلُ
مَالِ
الْيَتِيمِ
وَالتَّوَلِّي
يَوْمَ
الزَّحْفِ
وَقَذْفُ
الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ
الْغَافِلَاتِ )) (متفق
عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari
Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut
wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa
yang diharamakaan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba,
mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada
wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun
Alaih).
Periodisasi Pengharaman
Riba
Sebagaimana khamar, riba tidak
Allah haramakaan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama
dengan tahapisasi pengharaman khamar:
1.
Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa
riba akan melipatgandakan harta.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya
memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan
uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah
SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak
tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang
melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.
Pematahan paradigma mereka ini Allah
gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)”.
2.
Tahap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamakaan bagi
umat terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat
gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena
buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi
mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah
kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka
azab yang pedih.
Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan
dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami
haramakaan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan
Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami
telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang
pedih”.
3.
Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan
menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT
menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan
akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di
dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak
menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda,
sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.
Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang
keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman
(QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
4.
Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh
rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian
aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak
langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil,
semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ;
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh
sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya.”
Buruknya Muamalah Ribawiyah
Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari
Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut
adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :
1. Orang yang memakan
riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 :
275).
2. Pemakan riba, akan
kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
3. Orang yang “kekeh”
dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2
: 278 – 279).
4. Seluruh pemain riba;
kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan
mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
“Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya,
pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua
sama!”. (HR. Muslim)
5. Suatu kaum yang dengan
jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab
dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud
ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan
dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka
menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
6. Dosa memakan riba (dan
ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali
perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra
berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh
seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh
enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
7. Bahwa tingkatan riba
yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu
kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin
Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan
pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina
dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi)
Praktik Riba Dalam
Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba
adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir
seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada:
1. Transaksi Perbankan.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis
yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis
bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai
peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas
dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari
pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan,
apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip
dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba
jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi
hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu
pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak
pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang
dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan
bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah
dibandingkan dengan riba jahiliyah. Selain terjadi pada aspek pembiyaan
sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan.
Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank,
sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami
keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah
tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang
akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang
didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank.
Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi
hasil.
2. Transaksi Asuransi.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput
dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar
uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama.
Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu
juta rupiah pertahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100
juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar
harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika
diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97
juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk
dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas
yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga
masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan
waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang
dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba
nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional)
ini. Diantara yang mengaramakaannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf
Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan
syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan
sosial), yang sangat urgen.
Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi
yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah
kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti
ini.
Cukuplah nasehat
rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)
Bahaya Riba
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
Penjelasan:Dari
Abdullah bin Handzalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Satu dirham
riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan ia mengetahuinya, lebih buruk
dari tiga puluh enam kali berzina”.
Hadits ini
dikeluarkan oleh imam Ahmad dalam musnadnya (no 22007) dari jalan Husain bin
Muhammad haddatsana Jarir bin Hazim dari Ayyub dari ibnu Abi Mulaikah dari
Abdullah bin Handzalah”.
Sanad hadits ini
shahih sesuai dengan syarat Al Bukhari dan Muslim, adapun pendapat Abu Hatim
yang menganggap lemah periwayatan Husain bin Muhammad, dijawab oleh Al Hafidz
ibnu Hajar dalam Al Qaulul Musaddad: “(Husain) dijadikan hujjah oleh Bukhari
dan Muslim.. imam Ahmad berkata; “Tulislah darinya”. Dan ditsiqahkan oleh Al
‘Ijli, ibnu Sa’ad, An Nasai, ibnu Qaani’ dan lainnya, kemudian bila hanya
karena kesalahan sebuah hadits, lalu menjalar kepada hadits lainnya sehingga
semua haditsnya dianggap salah, kalau begitu siapa perawi yang selamat ?! (Al
Qaulul Musaddad 1/41).
Dan Al Wakie’
meriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri dari Abdul ‘Aziz bin Rufai’ dari ibnu Abi
Mulaikah dari Abdullah bin Handzalah dari Ka’ab secara mauquf dari perkataan
Ka’ab diriwayatkan oleh imam Ahmad juga dalam Musnadnya. Dan ini adalah
penyelisihan terhadap Ayyub.
Sebagian ulama
seperti Al Baghawi, Al Bushiri dan lainnya merajihkan riwayat Abdul ‘Aziz yang
mauquf, dan menganggap bahwa riwayat yang marfu’ adalah lemah. Akan tetapi bila
kita perhatikan, sebetulnya riwayat yang mauquf tidak dapat dianggap illat yang
melemahkan riwayat yang marfu’ karena beberapa alasan:
Pertama:
Adanya mutaba’ah yaitu dari jalan Laits bin Sulaim dari ibnu Abi Mulaikah dari
Abdullah bin Handzalah. Dikeluarkan oleh Abu Bakar Asy Syaibaani dalam Al
Aahaad wal matsani no 2759.
Al
Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Laits bin Sulaim adalah lemah, namun
kelemahannya berasal dari hafalannya yang tidak bagus sehingga ini menjadi
mutabi’ yang kuat”. (Al Qaulul Musaddad 1/41).
Kedua:
walaupun misalnya yang rajih adalah periwayatan yang mauquf, namun perkataan
seperti ini tidak mungkin berasal dari ra’yu sehingga dihukumi marfu’.
Ketiga:
Adanya syahid dari hadits ibnu Abbas dan Abdullah bin Salaam. Al Hafidz ibnu
hajar berkata: “Dan syahidnya adalah hadits ibnu Abbas, dikeluarkan oleh ibnu
Adi dari jalan Ali bin Al Hasan bin Syaqiq akhbarani Laits dari Mujahid dari
ibnu Abbas, dan Ath Thabrani meriwayatkan dari jalan lain dari ibnu Abbas. Dan
Ath Thabrani juga meriwayatkan dari jalan ‘Atha Al Khurrasaani dari Abdullah
bin Salaam secara marfu’, namun Atha tidak mendengar dari Abdullah bin Salaam,
akan tetapi ia dapat menjadi syahid”. (Al Qaulul Musaddad 1/41).
Dan hadits ini
dishahihkan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam Al Qaulul Musaddad dan Syaikh Al
Bani dalam silsilah shahihah no 1033.
Fiqih
hadits:
Hadits ini
menunjukkan bahwa riba adalah dosa yang amat berat, bahkan lebih berat dari
zina 36 kali lipat, padahal zina adalah dosa besar juga. Bahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba dan yang memberi
makan dengannya, beliau bersabda:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ
الرِّبَا
وَمُوكِلَهُ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang mentato dan yang minta
ditato, dan pemakan riba dan yang memberi makan dengan riba”. (HR Bukhari dari
Abu juhaifah).
Dan terlaknat
juga orang yang menulisnya, saksinya dan semua pihak yang membantu riba. Dan
Allah telah telah mengumumkan perang dengan
pelaku riba, Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا
اتَّقُوا
اللَّـهَ
وَذَرُوا
مَا
بَقِيَ
مِنَ
الرِّبَا
إِن
كُنتُم
مُّؤْمِنِينَ
﴿٢٧٨﴾ فَإِن لَّمْ
تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا
بِحَرْبٍ
مِّنَ
اللَّـهِ
وَرَسُولِهِ
ۖ وَإِن تُبْتُمْ
فَلَكُمْ
رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ
لَا
تَظْلِمُونَ
وَلَا
تُظْلَمُونَ
﴿٢٧٩﴾
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Al Baqarah:
278-279).
Macam-macam
Riba:
Riba ada tiga
macam
1. riba al fadl
: jual beli barang riba dengan yang semisal disertai adanya tambahan pada
satuannya contoh : membeli satu gram emas 24 karat dengan dua gram emas 18
karat.
2. riba an
nasi’ah : jual beli barang riba yang satu jenis atau satu illat dengan tempo.
Contoh membeli 2 gram emas 22 karat dengan 3 gram emas 18 karat dengan tempo,
atau membeli kurma satu kilo dengan 4 kilo garam dengan tempo.
3. riba dalam
hutang piutang, setiap hutang piutang yang menghasilkan keuntungan adalah riba.
Barang-barang riba.
1,2. emas dan
perak, illatnya harga atas pendapat yang kuat.
3,4,5,6. burr,
sya’ir, kurma dan garam, illatnya makanan yang ditakar.
Dari enam barang
tersebut dapat kita qiyaskan lainnya dengan yang sama illatnya. Dan dari
enam barang tersebut kita dapat mengambil kesimpulan dari dalil 3 kaidah utama
:
1. jual beli
barang satu jenis satu illat ; haram padanya dua perkara : al fadl dan nasi’ah,
seperti emas dengan emas.
2. jual beli
barang berbeda jenis tapi satu illat, haram padanya nasiah dan boleh al fadl.
Seperti membeli emas dengan perak.
3. jual beli
barang berbeda jenis berbeda illat ; boleh kedua-duanya. Seperti membeli kurma
dengan emas.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau
kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam
dalam mendefinisikan riba.
Ÿ Definsi yang sederhana
dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara
bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
Ÿ Definisi lainnya dari
riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala
bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi
yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang
piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan
sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam
pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang,
yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka.
Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada
masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.
DAFTAR PUSTAKA