Untuk pos hari ini, saya memposting mengenai "Hadits Tentang Memandang Rendah Kepada Orang Lain"
Jika anda ingin mengshare ulang, saya mohon ikut sertakan kutipan dari blog saya, makasih ^_^
Jika anda ingin File yang sudah jadi, Silahkan DOWNLOAD filenya DISINI !!! :D
Jika anda ingin File yang sudah jadi, Silahkan DOWNLOAD filenya DISINI !!! :D
BAB
I
PENDAHULUAN
Tuhan tidak menciptakan
manusia itu bodoh. Sebaliknya Tuhan menciptakan manusia dengan kebijaksanaan
yang berbeda. Setiap kita mesti mengenal di mana kebijaksanaan itu dan
meningkatkannya ke tahap maksimum. Jangan rasa bahwa diri ini hina, sebaliknya
binalah keyakinan diri. Allah menciptakan setiap manusia untuk berjaya.
Kadangkala bila kita
merasa lebih ada daripada orang lain ataupun merasa kita yang lebih hebat, kita
terdorong untuk memandang rendah. Sebenarnya, sikap suka memandang rendah ni
salah satu dari sikap negatif.
Kita perlu sedari, bila kita sudah mulai berlagak
dan suka memandang rendah, akan ada orang lain yang lebih hebat daripada kita.
Kalau boleh, elakkan sikap memandang rendah pada orang lain atau perangai suka
merendah-rendahkan kekurangan orang lain, karena bila bersikap begitu orang
lain akan turut mula memandang rendah pada kita.
BAB
II
PEMBAHASAN
Ø Melihat Kepada Orang Yang Lebih Rendah
Kedudukannya Dalam Hal Materi Dan Penghidupan
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas Wasiat Rasulullah ShallAllahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari
:
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
“(Rasulullah) ShallAllahu 'alaihi wa
sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai
orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar
aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang
yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung
silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar
memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya
kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan
kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan
orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku
agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”
·
Takhrij Hadits
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh
imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam
al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya
(no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu-
Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam
as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah
al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah
al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).
·
Penjelasan:
Rasulullah ShallAllahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang yang berada di bawah
kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu,
agar kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Rasulullah ShallAllahu 'alaihi wa salam bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.
"Lihatlah kepada orang yang
berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang
demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah
diberikan kepadamu".
Nabi ShallAllahu 'alaihi
wa sallam melarang seorang Muslim melihat kepada orang yang di atas. Maksudnya,
jangan melihat kepada orang kaya, banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji yang
tinggi, kendaraan yang mewah, rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia
terkadang kita melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini
merupakan kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya,
terkadang seseorang hidup bersama keluarganya dengan "mengontrak
rumah", maka dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur karena masih ada
orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur beratapkan langit.
Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya mendapat nafkah
yang hanya cukup untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja, maka dalam
keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang
tidak memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari menggantungkan harapannya
kepada orang lain.
Sedangkan dalam masalah
agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah, meraih pahala dan surga, maka
sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para
nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang shalih.
Apabila para salafush-shalih sangat
bersemangat dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca Al-Qur`ân, dan
perbuatan baik lainnya, maka kita pun harus berusaha melakukannya seperti
mereka. Dan inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan. Dalam masalah
berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Tabarâka wa Ta’ala berfirman:
وَفِي ذَلِكَ
فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)
"Dan untuk
yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba".
[al-Muthaffifîn/83:26].
Rasulullah ShallAllahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah
kita dalam masalah dunia, agar kita menjadi orang-orang yang bersyukur dan
qana’ah. Yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita,
tidak hasad dan tidak iri kepada manusia.
Apabila seorang muslim
hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia jalani sebagai kenikmatan
yang paling besar baginya. Rasulullah ShallAllahu 'alaihi wa sallam telah menyinggung
hal ini dalam sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ، مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ، وَعِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا.
"Siapa saja di antara kalian
yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan pada badannya, dan
ia memiliki makanan untuk harinya itu, maka seolah-olah ia telah memiliki dunia
seluruhnya".
Abu Dzar RadhiyAllahu
'anh adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk hari yang
sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok harinya beliau mencarinya lagi. Beliau
melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah
meridhai beliau.
Ketahuilah bahwa harta,
pangkat, rupa hatta ilmu itu adalah pinjaman dari Allah SWT. Dengannya
bertujuan untuk menguji iman kita semua. Siapakah anda dan saya sehingga kita
begitu angkuh lalu memandang rendah manusia lain? Inilah keburukan sikap
sombong yang menjadikan manusia lupa asal usulnya. Walaupun manusia berbeda
dari berbagai segi, namun Islam melarang kita memandang rendah kepada orang
lain.
Orang yang sombong akan
merasakan dirinya lebih tinggi dari orang lain. Setiap pendapat, pandangan dan
cadangan orang lain semuanya dilihat lebih ’rendah’ dan tidak perlu diberikan
perhatian. Mereka akan sentiasa mencari jalan keluar untuk menolak pandangan
orang lain, walaupun merugikan mereka di dunia dan akhirat!
Ø Sifat Sombong
Kadangkala bila kita
merasa lebih ada daripada orang lain ataupun merasa kita yang lebih hebat, kita
terdorong untuk memandang rendah. Sebenarnya, sikap suka memandang rendah ni
salah satu dari sikap negatif.
Orang sombong itu memandang dirinya
lebih sempurna dibandingkan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah dan
lain sebagainya. Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau
ShallAllahu ‘alaihi wa salllam,
الْكِبْرُ
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan
adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
[H.R. Muslim, no. 2749, dari
'Abdullah bin Mas'ûd]
Inilah yang membedakan
takabbur dari sifat ‘ujub
(membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa
meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga
meremehkan orang.
Ÿ Sebab-sebab Kesombongan
Sebab-sebab kesombongan, antara
lain:
1. ‘Ujub (Membanggakan Diri)
Ketahuilah wahai hamba
yang ber-tawadhu’ semoga Allah lebih
meninggikan derajat bagimu-, bahwa manusia tidak akan takabbur kepada orang
lain sampai dia terlebih dahulu merasa ‘ujub
(membanggakan diri) terhadap dirinya, dan dia memandang dirinya memiliki
kelebihan dari orang lain. Maka dari ‘ujub
ini muncul kesombongan. Dan ‘ujub merupakan perkara yang membinasakan,
berdasarkan sabda Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa
sallam,
ثَلاَثٌ
مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Tiga perkara
yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang
diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” [Silsilah Shahihah, no. 1802]. Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
بَيْنَمَا
رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ
اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Ketika seorang laki-laki sedang
bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis
pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia
mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu
terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat.” [HR. Bukhari,
no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim].
2.
Merendahkan Orang Lain.
Ketahuilah wahai hamba (Allah),
bahwa orang yang tidak meremehkan manusia, tidak akan takabbur terhadap mereka.
Sedangkan meremehkan seseorang yang dimuliakan Allah dengan keimanan sudah
cukup untuk menjadikan sebuah dosa.
3.
Suka Menonjolkan Diri (Taraffu).
Ketahuilah wahai hamba yang
tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bahwa jiwa manusia itu menyukai ketinggian di atas sesamanya, dan dari sini
muncul kesombongan.
Oleh karena itu,
barangsiapa memperhatikan Al-Qur’an niscaya akan mendapati bahwa orang-orang
yang bersombong pada tiap-tiap kaum adalah para pemukanya, yaitu orang-orang
yang memegang kendali berbagai urusan. Allah Ta’ala
berfirman tentang suku Tsamud, kaum Nabi Shalih Alaihissalam
yang artinya, “Pemuka-pemuka yang menyombongkan
diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang
telah beriman di antara mereka, ‘Tahukah kamu bahwa Shalih di utus (menjadi
Rasul) oleh Tuhannya?’ Mereka (yang dianggap lemah-red) menjawab, ‘Sesungguhnya
kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya.’
Orang-orang yang menyombongkan diri
berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang yang
tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.”
Kemudian mereka sembelih
unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka
berkata, “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu
ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah).”
[al-A’râf/7:75-77]
Dan Allah Ta’ala memberitakan tentang kaum Nabi Syu’aib Alaihissalam,
“Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan dan
berkata, ‘Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang
beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami.’ Syu’aib
berkata, ‘Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak
menyukainya?‘” [Al-A’raaf/7: 88]
Namun orang yang berakal
akan berlomba pada ketinggian yang tetap lagi kekal, yang di dalamnya terdapat
keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan kedekatan kepadaNya. Dan dia meninggalkan ketinggian sementara yang akan
binasa, yang akan diikuti oleh kemurkaan Allah dan kemarahanNya, kerendahan
hamba, kesibukannya, jauhnya dari Allah dan terusirnya (dari rahmat) Allah.
Inilah ketinggian yang tercela, yaitu sikap melewati batas dan takabbur di muka
bumi dengan tanpa kebenaran. Allah Ta’ala
berfirman,
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang
tidak ingin ketinggian (menyombongkan diri ) dan berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
[Al-Qashash/28: 83]
4. Mengikuti Hawa Nafsu.
Ketahuilah wahai hamba Allah,
bahwa kesombongan itu muncul dari sebab mengikuti hawa nafsu, karena memang
hawa nafsu itu mengajak menuju ketinggian dan kemuliaan di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu
(pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka
beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain)
kamu bunuh?” [Al-Baqarah/2: 87]
Ÿ Bahaya
Kesombongan
Ketahuilah wahai hamba Allah
yang hatinya dihiasi dengan tawadhu’ (rendah
hati) bahwa bencana kesombongan itu sangat besar, orang-orang istimewa binasa
di dalamnya, dan jarang orang yang bebas darinya, baik para ulama, ahli ibadah,
atau ahli zuhud. Bagaimana bencana kesombongan itu tidak besar, sedangkan
kesombongan itu:
1.
Dosa Pertama Yang Dengannya Allah Azza Wa Jalla Dimaksiati.
Kesombongan adalah dosa
pertama yang dilakukan Iblis laknatullah dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa jalla. Kesombongan itu menyeret Iblis
untuk menjadikan takdir sebagai alasan terus-menerus sombong. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat,
‘Sujudlah kamu kepada Adam!,’ Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
[Al-Baqarah/2: 34]
2.
Kesombongan Merupakan Kawan Syirik
Dan Penyebabnya.
Oleh karena itulah Allah
Azza wa Jalla menggabungkan antara
kekafiran dengan kesombongan di dalam kitab-Nya yang mulia, Dia Azza wa Jalla berfirman,
“Lalu
seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia
menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.”
[Shaad/38: 73-74]
Karena barangsiapa takabbur dari patuh kepada al-haq (kebenaran) –walaupun kebenaran itu
datang kepadanya lewat tangan seorang anak kecil atau orang yang dia benci dan
musuhi- , maka sesungguhnya takabburnya itu adalah kepada Allah, karena Allah
adalah Al-Haq, perkataan-Nya adalah
haq, agama-Nya adalah haq, al-haq merupakan sifat-Nya, dan al-haq adalah dari-Nya dan untukNya. Maka, jika
seorang hamba menolak al-haq, takabbur dari menerimanya, maka sesungguhnya
dia menolak Allah dan takabbur terhadap-Nya.
Dan barangsiapa takabbur terhadap Allah,
niscaya Allah akan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkannya, dan meremehkannya.
3.
Orang-Orang Yang Sombong Tempat Kembalinya Adalah
Neraka.
Oleh karena itulah Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan neraka
sebagai rumah bagi orang-orang yang sombong, sebagaimana di dalam surat
Al-Ghafir ayat 76 dan surat Az-Zumar ayat 72. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu
kekal di dalamnya”. Maka neraka Jahannam Itulah seburuk-buruk tempat bagi
orang-orang yang menyombongkan diri.” [Az-Zumar/39: 72]
Dan orang-orang yang
sombong adalah para penduduk neraka Jahannam, berdasarkan sabda Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ
مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ
“Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar
lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang
bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil.
Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan.”
[Hadits Shahih. Riwayat Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499]
Oleh karena itu, Allah
mengusir Iblis dari surga, Dia Azza wa Jalla
berfirman,
“Turunlah
kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di
dalamnya!” [Al-A’râf/7: 13]
Kesombongan itu menjadi
tirai penghalang masuk surga karena menghalangi seorang hamba dari akhlaq
orang-orang beriman. Orang sombong tidak menyukai untuk kaum mukminin kebaikan
yang dia sukai untuk dirinya. Dia tidak mampu bersikap rendah hati dan
meninggalkan hasad, dendam, dan marah. Dia juga tidak mampu manahan murka, dia
tidak menerima nasehat, dan tidak selamat dari sifat merendahkan dan menggibah
manusia. Tidak ada sifat yang tercela kecuali dia memilikinya.
5. Allah Tidak Mencintai
Orang-Orang Yang Sombong.
Barangsiapa yang
memiliki sifat-sifatnya seperti ini, maka dia berhak mendapatkan laknat Allah,
jauh dari rahmatNya, Allah memurkainya dan tidak mencintainya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Maka
orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari
(keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka
rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong.” [An-Nahl/16: 22-23]
6. Kesombongan Merupakan
Sebab Su-ul Khatimah (Keburukan Akhir Kehidupan).
Oleh karena itu Allah
memberitakan bahwa orang yang sombong dan sewenang-wenang adalah orang-orang
yang Allah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak beriman. Sehingga akhir
kehidupannya buruk. Allah Azza wa Jalla
berfirman,
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan
sewenang-wenang.”[Al-Mukmin/40: 35]
7.
Kesombongan Merupakan Sebab
Berpaling Dari Ayat-Ayat Allah.
Yang demikian itu karena
orang yang sombong tidak bisa melihat ayat-ayat Allah yang menjelaskan dan
berbicara dengan dalil-dalil yang pasti. Juga karena kesombongan itu menutupi kedua
matanya, sehingga dia tidak melihat kecuali dirinya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya
di muka bumi.” [Al-A’raaf/7: 146]
8.
Kesombongan Merupakan Dosa
Terbesar.
Kesombongan memiliki
berbagai bahaya seperti ini; maka tidak heran jika ia merupakan dosa terbesar.
Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
لَوْ لَمْ تَكُوْنُوْا تُذْنِبُونَ لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ
مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبُ الْعُجْبُ
“Jika
kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang
lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri).”
[Hadist Hasan Lighairihi, sebagaimana
di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah,
no. 658, karya Syaikh Al-Albani].
Ø Sifat Tawadhu
Kebalikan dari takabbur
yang didefinisikan ulama, ”menolak kebenaran (al-haq) dan memandang rendah
orang lain.” Adalah tawadhu yang artinya”menempatkan diri pada posisi yang
sejajar dengan orang yang status ekonominya lebih rendah, sehingga tiada lagi
kesenjangan antara keduanya. Sebaliknya, menempatkan diri pada posisi yang
sejajar dengan orang yang lebih tinggi status ekonominya, sehingga tiada
kesenjangan/perbedaan posisi antara keduanya.”. Keutamaan sifat tawadhu: pada
awalnya sifat tawadhu’ ini ditujukan kepada orang yang terhormat, berkedudukan
tinggi, dan orang besar, yang dikhawatirkan akan timbul kesombongan; dengan
diingatkan oleh seorang bijak: Rendah hatilah kamu, niscaya kamu seperti
bintang yang tampak di permukaan air (berada di bawah), padahal sebenarnya dia
berada di tempat yang tinggi/terhormat.
Kalau kita renungkan
bahwa orang yang tawadhu’ itu tidak akan rugi dan tidak akan kehilangan apa-apa
(nothing to loose). Namun, justru sikap itu akan mengangkat derajatnya
setinggi-tingginya dalam pandangan Allah, di samping terhormat./tinggi di
depan manusia.
Sebagai renungan bagi
kita, agar kita tetap merendah dan merakyat, tanpa ada pengaruh harta/ilmu, dan
kekuasaan yang membuat kita menjadi sombong kepada orang lain, maka dalam hadis
qudsi ini di jelaskan:
Rabbul Izzati berfirman dalam Hadis
Qudsi:
Aku mencintai 3 perkara,
tetapi cinta-Ku kepada 3 perkara lagi lebih kuat:
·
Aku
menyintai orang fakir yang rendah hati, tapi cinta-Ku lebih kuat kepada orang
kaya yang rendah hati.(dia punya sarana untuk berlaku sombong, tetapi ia tetap
rendah hati/tawadhu’)
·
Aku
menyintai orang kaya yang pemurah, tetapi kecintaan-Ku kepada orang miskin yang
pemurah ,jauh lebih kuat.
·
Aku
menyintai orang tua yang taat (kepada-KU), tetapi kecintaan-Ku lebih kuat
kepada pemuda yang taat.
·
Aku
membenci 3 perkata, tetapi kebencian-Ku kepada 3 perkara lainnya lebih kuat
lagi:
·
Aku
membenci orang kaya yang sombong, tetapui Aku lebih benci kepada orang miskin
yang sombong.
·
Aku
membenci orang miskin yang bakhil, tetapi kebencian-Ku kepada orang kaya yang
bakhil, jauh lebih kuat.
·
Aku
membenci pemuda yang berbuat maksiat, tetapi kebencian-Ku lebih kuat kepada
orang tua yang berbuat maksiat.
BAB
III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
·
Ketika
kita melihat orang yang berada di atas kita dalam perkara-perkara dunia,
hendaknya kita melihat kepada orang yang lebih rendah dari kita.
·
Sesungguhnya
Allah Ta’ala menjadikan di antara hamba-hamba-Nya ada yang miskin dan
kaya dengan hikmah dan keadilan-Nya.
·
Kewajiban para hamba bukanlah membanding-bandingkan nikmat Allah Ta’ala
yang diberikan kepada setiap hamba, akan tetapi setiap hamba hendaknya
selalu bersyukur atas nikmat Allah, baik pada nikmat yang besar maupun nikmat
yang kecil.
·
Bersyukur
kepada Allah Ta’ala meliputi 3 syarat, yaitu :
-
Menisbahkan nikmat itu hanya pada Allah Ta’ala ;
- Mengakui bahwa nikmat
itu berasal dari ALLAH Ta’ala dan bukan semata-mata dari kemampuan
dirinya sendiri ;
-Menggunakan
nikmat-nikmat tersebut dalam perkara-perkara keta’atan kepada ALLAH Ta’ala
bukan dalam perkara-perkara maksiat.
Ÿ Melalui
hadits ini Rasulullah ShallAllahu ‘alayhi wasallam memberikan tuntunan
agar kita tidak cepat kufur terhadap nikmat Allah Ta’ala. Karena
kebanyakan manusia ingkar terhadap nikmat Allah disebabkan selalu melihat
kepada orang yang lebih tinggi dari dirinya dalam perkara dunia.
Ÿ Sesungguhnya bukanlah seorang hamba
itu tidak diberi nikmat oleh Allah, namun karena hamba itu selalu melihat
kepada orang yang lebih tinggi dari dirinya dalam perkara dunia, sehingga
akibatnya dia selalu merasa kurang dan tak pernah merasa puas.
Ÿ Hendaknya melihat kepada orang-orang
yang faqir dan miskin sehingga kita akan lebih bersyukur kepada Allah, yang
dengannya akan mendorong kita untuk bershadaqah kepada mereka.
Ÿ Sesungguhnya dunia ini bukanlah
diciptakan untuk kepuasan akan tetapi dunia ini diciptakan sebagai tempat untuk
menguji hamba-hamba-Nya.
Ÿ Kepuasan yang hakiki itu diraih dari
apa-apa yang ada di sisi ALLAH Ta’ala, karena sesungguhnya segala yang
ada di dunia ini akan binasa dan tetap kekal-lah wajah Rabb-mu.
Ÿ Namun ketika seseorang mengejar
perkara-perkara agama/akhirat, hendaknya ia senantiasa melihat kepada orang
yang lebih tinggi ilmunya. Sehingga ia tidak pasrah dengan kekurangannya dalam
mengejar perkara-perkara agama/akhirat, akan tetapi seharusnya ia bersemangat
dan terdorong untuk berlomba-lomba (bersegera) dalam
melaksanakan kebaikan.
Ø
Saran
Demikianlah makalah yang
dapat penulis sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membutuhkannya. penulis sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak kesalahannya. Untuk itu
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø At-Tawaadhu’ fii
Dhauil Qur’anil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafizhahullah, hlm.
35-44; Penerbit. Daar Ibnul Qayyim; Cet. 1; Th. 1410 H/1990 M
Ø Kitab Nashoihul’ibad. Halaman
60.
Ø Abu
Abdillah Mustafa Al- Adawi, Shahih Hadits Qudsi, Penerbit :
Dar Majid Usairi, Mesir. Cet.III, Th.1422 H/2001 M
Ø http://lsi.unisba.ac.id/index.php/component/content/article/87-tawadhu/103-keutamaan-sifat-tawadhu
Ø http://najiyah1400h.wordpress.com/2008/05/19/lihatlah-kepada-orang-yang-lebih-rendah-darimu/
Jika anda ingin File yang sudah jadi, Silahkan download DISINI !!! :D
Jika anda ingin File yang sudah jadi, Silahkan download DISINI !!! :D